Zuhud

Zuhud

Bagi orang sufi, dunia dan kesenangan merupakan sumber kemaksiatan dan dosa. Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan tenggelam dalam kesenangan duniawi, selamanya ia tidak akan dapat menikmati cahaya ma'rifatullah. Pikirannya menjadi tumpul dan mata hatinya menjadi gelap. Tidak mungkin ia dapat melihat keajaiban-keajaiban.

Karenanya seseorang harus terlebih dahulu menjadi zahid (orang yang menempuh hidup zuhud). Sikap hidup zuhud ini erat kaitannya dengan taubat dan wara'. Sebab taubat tidak akan berhasil jika hati seseorang masih terikat dan terbelenggu oleh kesenangan duniawi.

Rasulullah saw. bersabda:
Sabda Rasulullah SAW. Tentang Zuhud

Jika di antara kamu sekalian melihat orang lelaki yang selalu zuhud dan berbicara benar, maka dekatilah dia. Sesungguhnya dia adalah orang yang mengajarkan kebijaksanaan. [HR. Al Baihaqi]

Zuhud terhadap dunia berarti tidak tertarik atau terpikat terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan duniawi. Duniawi itu misalnya jabatan, harga diri, harta, dan lain sebagainya. Dalam dunia tasawuf, zuhud dipahami sebagai sikap tidak mencintai dan tidak tertarik kepada dunia, atau tidak terlena dan tergiur oleh kesenangan duniawi.

Sikap zuhud terhadap dunia berakar pada pandangan bahwa dunia dan segala kesenangannya lebih rendah nilainya dari pada nilai akhirat. Maka sikap hidup itu mengandung pengertian sikap mencintai akhirat atau lebih tertarik kepada Allah ketimbang kepada lainnya.

Seseorang yang lebih tertarik dengan kehidupan akhirat, sehingga ia tidak butuh duniawi, tetapi butuh kepada Allah, maka ia disebut zuhud mutlak. Seseorang yang memalingkan diri dari urusan duniawi dan tertuju hanya kepada Allah maka itulah yang disebut zuhud. Demikian menurut Hujjatul Syekh Imam Al Ghazali.

Dalam dunia tasawuf, zuhud artinya menjadikan hati agar tidak tertarik dengan duniawi. Mereka menganggap duniawi nilainya sangat rendah dibandingkan dengan kepentingan akhirat.

Esensi kehidupan zuhud adalah sikap moral yang diajarkan oleh Al Qur'an. Kitab suci ini menjelaskan bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih kekal daripada dunia.
 QS. An Nisa 77

Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun. [QS. An Nisa’ 77]

Firman lainnya yang mendasari sikap zuhud adalah:
QS. Al Hadid 23
(Kami jelaskan yang demikian itu) agar kamu jangan berduka atas apa yang terlepas darimu dan supaya kamu jangan terlalu bergembira atas apa yang diberikanNya kepadamu. [QS. Al Hadid23]

Hujjatul Syekh Imam Al Ghazali mengibaratkan bahwa dunia dan akhirat itu ibarat salju dan mutiara. Jika di dalam salju itu tersimpan mutiara, maka nilainya akan mahal. Tetapi ketika salju diletakkan di bawah matahari, ia akan hancur dan tinggallah mutiara yang kekal.

Agar bisa menempuh sikap zuhud, maka seseorang harus memiliki keyakinan bahwa sesungguhnya akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Meskipun demikian, kadang-kadang orang awam tidak mampu meyakinkan hatinya tentang yang demikian ini. Hal tersebut mungkin karena mereka tidak mempunyai daya dan kemampuan untuk melepaskan diri dari duniawi. Kadang-kadang dipengaruhi oleh hawa nafsunya tentang was-was dan kekhawatiran nasibnya di masa mendatang.

Dampak positif dari sikap zuhud bagi seseorang ialah bahwa dia telah benar-benar menyadari bahwa mendekatkan diri kepada Allah itu lebih bernilai daripada sibuk dalam urusan duniawi. Jika ia telah cinta dan rindu kepada Allah, maka cintanya terhadap duniawi terabaikan. Ibarat seseorang yang mencintai sesuatu, maka yang lain tidaklah tertarik bagi hatinya.

Menurut Imam Ghazali, zuhud bukan berarti meninggalkan harta benda atau menghabiskan kekayaan sama sekali untuk diberikan karena rasa dermawan. Hal tersebut memang kebiasaan baik. Namun zuhud yang sesungguhnya jika seseorang menilai duniawi itu lebih rendah nilainya dibandingkan akhirat. Sebab kadang-kadang seseorang memberi sedekah, bukan karena niat ikhlas, namun mengharap sesuatu; yang disebut riya’.

Pada hakikatnya zuhud mendidik orang agar bermoral arif dan bijaksana dalam menempuh kehidupan. Orang yang telah berjiwa zuhud, tidak akan bangga dan menyombongkan kenikmatan duniawi yang ada di tangannya. Ia juga tidak akan berkeluh kesah misalnya kehilangan duniawinya (harta, jabatan, dsb).

Pendapat lebih keras lagi dikemukakan oleh Abu Utsman, “Yang dimaksud zuhud adalah meninggalkan kenikmatan dunia dan tidak mempedulikan orang yang dapat menikmatinya.”

Sikap zuhud akan menumbuhkan gemar bersedekah karena sifat kikir telah lenyap di hati seseorang. Berbeda dengan orang yang mencintai duniawi, karena ia cenderung kikir dan mementingkan dirinya sendiri.

Menurut Yahya bin Muadz bahwa sikap zuhud itu mendorong seseorang suka mendermakan harta bendanya. Sedangkan rasa cinta kasih itu mendorong kencederungan untuk pengabdian diri. Ibnu Khafif berpendapat bahwa tanda-tanda orang zuhud ialah merasa senang meninggalkan harta benda, sedangkan yang dimaksud zuhud adalah hati merasa terhibur meninggalkan berbagai bentuk kehidupan dan menghindarkan diri dari harta benda.

Ibnu Jalla’ berpendapat bahwa zuhud adalah menilai kehidupan dunia hanya sekedar pergeseran bentuk yang tidak mempunyai makna dalam pandangan. Oleh karenanya, ia menganggap harga benda, jabatan, apa pun bentuknya, adalah sesuatu yang mudah sirna.

Zuhud melatih seseorang menjadi rendah hati di dunia serta memiliki akhlak mulia. Karena sikap ini jika benar-benar dimiliki maka seseorang menjadi berlapang dada manakala menemui kehidupan yang sulit. Tetapi ketika mendapat kenikmatan dari Allah, ia tidak sombong tetapi bersyukur. Ketika zuhud telah sempurna, maka seseorang selalu berprasangka baik kepada sesama makhluk maupun kepada Allah swt. Karena itu Al Junaid berkata, “Yang dimaksud zuhud adalah hati yang terhindar dari prasangka.” Sementara itu Abdullah bin Mubarak berpendapat, bahwa makna zuhud adalah percaya kepada Allah disertai sikap cinta terhadap kefakiran. Kefakiran dalam konsep Abdullah bin Mubarak mengandung makna butuh. Hakikatnya ialah orang yang selalu butuh -tidak sebatas materi kepada Allah dalam segala hal Termasuk butuh ampunan, karunia, petunjuk dan sebagainya. 

Seseorang yang zuhud ia selalu butuh kepada Allah dan tidak pernah menggantungkan nasibnya kepada sesama makhluk. Oleh sebab itu dalam pengertian ini dapat dipahami bahwa seseorang tidak akan bisa bersikap zuhud kecuali jika ia sepenuhnya percaya kepada Allah swt.

Meskipun 'demikian, pandangan tentang konsep zuhud itu berbeda-beda. Sebagian ulama sufi lainnya menganggap bahwa zuhud itu sama dengan kemiskinan karena seseorang harus membenci duniawi. Sebagaimana Abdul Wahid bin Zaid memberi batasan zuhud dalam pengertian meninggalkan dirham dan dinar. Sedangkan menurut Abu Sulaiman ad-Darani, arti zuhud adalah meninggalkan segala bentuk aktivitas yang mengakibatkan seseorang menjadi jauh dari Allah swt.

Ada pula yang berpendapat bahwa zuhud itu menyederhanakan (memperkecil) kehidupan duniawi dan menghilangkan berbagai pengaruh di dalam hati. Pengaruh di dalam hati itu misalnya panjang angan-angan, kikir, sombong, rakus dan sebagainya. Tak mungkin seseorang bisa melatih diri bersikap zuhud jika hatinya menyimpan sifat-sifat buruk itu. Sifat semacam itu hanya akan memperkuat dorongan hawa nafsu, sehingga seseorang selalu terikat terhadap duniawi. Oleh karena itu As-Sarry berkata, “Kehidupan' yang zuhud tidak akan menjadi baik apabila seseorang masih menyibukkan diri. Demikian juga orang yang ma'rifat. ” Menyibukkan diri artinya seseorang itu tenggelam dalam kesibukan duniawi, misalnya mengejar kedudukan, jabatan, harta benda dan kesenangan. Sedikit sekali -atau hampir sama sekali tidak ada- waktu buat mendekatkan diri kepada Allah.

Al Junaid memberi pengertian yang cukup sederhana, bahwa zuhud adalah melepaskan tangan dari harta benda dan melepaskan hati dari kesenangan hawa nafsu. Meskipun kalimatnya tampak sederhana, namun mengandung pemahaman yang cukup dalam.

Dalam pandangan sufi, tolok ukur sikap zuhud itu ditandai tiga ciri. Pertama, berbuat tanpa pamrih sedikit pun. Kedua, berbicara tanpa keinginan hawa nafsu. Ketiga, kemuliaan tanpa kekuasaan.

Seseorang yang telah berhasil melatih diri dan jiwanya berzuhud, maka setiap perbuatannya selalu diniatkan rasa ikhlas. Jika menolong, maka disertai dengan hati ridha. Jika beribadah kepada Allah juga tanpa pamrih. Tanpa keinginan untuk mendapatkan pahala dan keinginan terbebas dari neraka. Baginya, surga dan neraka itu urusan Allah. Mendapat pahala atau tidak dalam beribadah, itu pun sepenuhnya disandarkan kepada Allah.

Orang zuhud tidak mengharap kedudukan di mata makhluk. Oleh karena itu, ia menjadi mulia karena sikap dan perilakunya sehingga orang lain merasa hormat. Kemuliaan tidak hanya didapat di dunia, namun Allah pun memuliakannya. Tanpa jabatan tinggi atau kedudukan pun, ia telah menjadi mulia.

Sikap zuhud memang mengandung keutamaan. Di dalam Al Qur'an banyak diterangkan kemuliaan orang-orang yang bersikap demikian. Di sisi lain, dicontohkan pula keburukan orang yang sangat mencintai duniawi. Misalnya Allah menyinggung tentang Qarun, seorang tokoh yang dianggap sangat kikir, tergila-gila dengan harta benda dan jabatan di jaman Firaun. Namun di sisi lain, Allah juga menyinggung orang-orang yang zuhud.

Rasulullah saw. telah menjadikan sifat zuhud sebagai sebab seseorang dicintai Allah. Barangsiapa yang dicintai Allah, maka ia berada pada kemuliaan yang tinggi. Oleh karena itu zuhud terhadap duniawi itu merupakan kedudukan yang utama.

Rasulullah saw. memang mengajarkan sikap zuhud kepada sahabat-sahabatnya. Mereka hidup dengan sederhana, baik dalam makanan, minuman, berpakaian, dan lain sebagainya. Mereka sering berpuasa dan berlapar-lapar, menghentikan makan sebelum kenyang dan tidak makan sebelum lapar. Mereka rajin bangun tengah malam untuk ‘mendatangi’ Allah, bermunajat, bertafakur, dan bertadakkur.

Mengejar dan meraih duniawi sebenarnya tidak pernah dilarang oleh Al Qur'an, bahkan kitab suci ini memerintahkan kepada orang yang percaya kepadanya untuk meraih dunia, terutama untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia serta untuk mencapai prestasi terbaik di sisi Allah. Jadi perlu dipahami bahwa zuhud bukan berarti anti duniawi sama sekali. Namun seseorang boleh mencari nafkah buat bekal ibadahnya, buat berinfak, buat pendanaan untuk perjuangan di jalan Allah.

Orang yang bersikap zuhud disebut zahid. Mereka ini mempunyai beberapa ciri khusus. Pertama, tidak merasa bangga terhadap sesuatu yang ada padanya, dan tidak pula merasa sedih pada waktu kehilangan nikmat di tangannya. Kedua, tidak merasa gembira dan bangga mendengar pujian dan tidak pula merasa sedih jika mendengar kritikan atas dirinya. Ketiga, selalu mengutamakan cintanya kepada Allah dan mengurangi cintanya kepada dunia. Inilah yang dapat membuka mata hati sehingga seseorang memiliki ketajaman batin dan indra keenam.
Keutamaan Lapar
Membuka Mata Bathin
Qanaah

Postingan populer dari blog ini

HINDARI BERAMAL DEMI MENCARI POPULARITAS

Keagungan dan Keindahan Ilahi | Menundukan Diri Sendiri | Wasiat dari Wali Allah Syeh Abdul Qadir Al-Jailani

Ketika Anda Terhalang Mengenal Allah

Arti Kesehatanmu

Etika Bisnis