Menumbuhkan Cinta Sejati



Salafus sufi berpendapat bahwa cinta sejati hanyalah cinta terhadap sang Khaliq. Cinta kepada makhluk bukanlah cinta sejati. Karena ‘kekasih’ yang memberikan cintanya secara tulus tanpa mengharap imbalan apa pun hanyalah Allah. Maka jika seseorang mampu menempatkan cintanya secara hakiki dan sejati hanya kepada Allah, maka dengan mudah dibukakan mata batinnya.


Cinta sejati itu tidak butuh bersinggungan secara fisik. Cinta kepada Allah pun demikian. Meskipun tidak bersinggungan secara fisik, namun mata hati terbuka tajam untuk menatap ‘ wajah’Nya.


Ibarat seseorang yang gila Laila karena sangat cintanya. Ketika ditanya, “Siapakah namamu?” Dia justru menyebut, “Namaku Laila. ” Dan suatu hari ditanyakan padanya, “Bukankah gadis Laila telah mati?” Dia menjawab, “Sesungguhnya Laila di dalam hatiku tidak pernah mati. Akulah Laila.” Suatu ketika dia lewat di depan rumah Laila. Lalu seseorang menyapa, “Wahai orang gila, janganlah engkau melihat ke langit. Tetapi lihatlah pagar Laila, mungkin engkau bisa melihat dia! ” Namun orang yang sudah ‘gila’ cinta itu menjawab, “Aku telah cukup puas menengadah ke langit dan sebuah bintang yang bayangannya jatuh di atas rumah Laila. ”


Diceritakan dari Manshur ai-Hallaj. Di mana, orang-orang telah menahannya selama delapan belas hari. Pada hari ketujuh belas datanglah Asy-Subali ra. menjenguk ke tahanan. Asy-Syubali berkata, “Wahai Mansur, jelaskan kepadaku, apakah kecintaan itu?” Mansur al-Hallaj menjawab, “Jangan kau bertanya kepadaku hari ini. Tetapi tunggulah besok pagi!”


Pada pagi harinya, orang-orang mengeluarkan al-Hallaj dari penjara dan menghamparkan alas dari kulit untuk membunuhnya. Pada saat itu lewatlah asy-Subali. Al-Hallaj memanggil-manggil seraya berkata, “Hai Syubali, tanda awal kecintaan adalah kebakaran dan akhirnya adalah terbunuh.” Telah tertancap dalam hati al-Hallaj bahwa segala sesuatu selain Allah adalah batal (tidak ada dalam kenyataan) dan dia mengetahui bahwa hanya Allah yang haq, dia menjadi lupa dengan namanya sendiri pada saat tertancap nama Allah Yang Haq. Sehingga ketika ditanya siapakah dirinya? Maka dijawab, “Aku adalah Tuhan Yang Haq.”


Inilah cinta sejati. Karena seseorang sangat mencintai Yang Haq (Allah), sampai-sampai lupa terhadap dirinya sendiri. Sebagaimana seorang pemuda yang tergila-gila dengan Laila, maka ia lupa terhadap dirinya sendiri. Semuanya tertuju dan untuk yang dicintai.


Sesungguhnya cinta hakiki (kebenaran cinta) terhadap Allah itu berada dalam tiga hal. Yaitu, seseorang yang cinta kepada Yang Haq, maka ia akan memilih firmanNya, dia akan memilih berkumpul dengan ‘Kekasihnya’ itu daripada berkumpul dengan yang lain, dia memilih keridhaan ‘Kekasihnya’ itu daripada keridhaan lain.


Isyqu (sangat rindu), dapat merusak segala macam hijab (pembatas, penutup), dan membuka semua rahasia. Artinya, membuat mata hati terbuka terhadap segala yang gaib. Sedangkan wujdu adalah kelemahan roh untuk memikul penguasaan cinta yang memuncak ketika adanya rasa nikmat dalam berdzikir, sehingga seandainya sebuah anggota badan dari sekian anggota-anggota dipotong dia tidak akan merasakan sakit  menyadarinya.


Dzun Nun al-Mishri pemah memasuki Musjidil Haram. Dia melihat seorang pemuda telanjang, terbuang dan terletak di bawah sebuah tiang karena sakit. Pemuda itu merintih pilu Lalu Dzun Nun menghampiri dan memberi salam. “Wahai anak muda, siapakah engkau?” Dia menjawab, “Aku adalah pengembara yang sedang rindu.” Dzun Nun paham apa yang dikatakan pemuda itu. Maka Dzun Nun pun berkata, “Sesungguhnya aku pun orang sepertimu.” Dia menangis. Dzun Nun pun ikut menangis. Dia bertanya, “Apakah engkau juga menangis?” Dzun Nun menjawab, “Aku juga sepertimu.” Dia menangis lagi dengan suara sangat keras seakan-akan histeris. Dan pada saat itu juga nyawanya keluar dari badannya. Ia telah mati.


Dzun Nun melepaskan sebagian pakaiannya untuk menutupi jasad pemuda itu. Lalu keluar masjid untuk mencari kain kafan. Ketika kembali, Dzun Nun tidak menemukan jasad pemuda tersebut. Dzun Nun bergumam, “Subhanallah.” Hati Dzun Nun yang peka dan tajam mendengarkan bisikan, “Wahai Dzun Nun, sesungguhnya pengembara itu adalah orang yang dicari-cari oleh setan tetapi dia tidak dapat melihatnya. Dia juga dicari-cari malaikat Malik tetapi juga tidak diketemukannya. Dia juga dicari-cari malaikat Ridhwan tetapi dia tidak diketemukannya. ” Dzun Nun berkata dalam hati, “Di tempat yang disenanginya yaitu di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” (Disebutkan dalam kitab Zahrur Riyadh).


Begitulah orang-orang yang mempunyai rasa cinta yang hakiki kepada Tuhannya. Cinta mereka mampu menembus hijab antara dirinya dengan ‘Yang dicintai’.


Tentang orang yang memiliki cinta hakiki, al Masyayikh berpendapat,. yaitu sedikit bergaul dengan orang lain, banyak menyendiri, istiqamah dalam bertafakur, dan keadaan lahiriahnya diam. Dia tidak melihat jika dipandang, tidak menyahut jika dipanggil. Tidak paham jika diajak bicara, tidak bersedih hati jika terkena musibah. Ketika dia ditimpa kelaparan, dia tidak mengerti. Jika telanjang dia tidak menyadari telanjangnya. Dia selalu memandang Allah swt. dalam kesendiriannya, merasa tenteram denganNya dan berbisik kepadaNya. Dan dia tidak akan ikut berebut dengan orang-orang ahli dunia di dalam hal dunia mereka. ”

Kecintaan kepada Allah seperti yang digambarkan di atas dapat-menjadikan seseorang mampu membuka hijab keajaiban. Menjadikan seseorang mampu mempertajam mata hati dan indra keenamnya.
Takwa
Membuka Mata Bathin
Riyadha

Postingan populer dari blog ini

HINDARI BERAMAL DEMI MENCARI POPULARITAS

Keagungan dan Keindahan Ilahi | Menundukan Diri Sendiri | Wasiat dari Wali Allah Syeh Abdul Qadir Al-Jailani

Ketika Anda Terhalang Mengenal Allah

Arti Kesehatanmu

Etika Bisnis